Friday, April 24, 2009

Kemiskinan dan derita Az Zahra

Sebagai seorang putri Rasulullah SAW, Saiyidatina Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan, Salman Al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah isteri-isteri Nabi yang sembilan, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali, dia melihat rumah Saiyidatina Fatimah. Kepada dirinya, dia bergumam, "Mudah-mudahan ada rezeki di rumah Saiyidatina Fatimah putri Nabi Muhammad SAW."

Kemudian dia mengetuk pintu rumah Saiyidatina Fatimah. Dari balik pintu terdengar suara, "Siapa di balik pintu ?" "Aku, Salman Al-Farisi," sahut Salman. "Wahai Salman, apa yang Anda inginkan ?" tanya Saiyidatina Fatimah. Lalu Salman menceritakan maksudnya.

Setelah itu, Saiyidatina Fatimah berkata, "Wahai Salman, Demi Yang mengutus Muhammad SAW dengan kebenaran sebagai nabi. Sungguh. Aku sudah tidak makan selama tiga hari. Demikian pula, Al-Hasan dan Al-Husain, gemetar sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur bagaikan dua ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak kebaikan, jika datang di pintuku," jelas Saiyidatina Fatimah.

Kemudian Saiyidatina Fatimah melanjutkan perkataannya, "Wahai Salman. Ambillah baju perang ini, lalu pergilah kepada Syam’un Yahudi dan katakan kepadanya bahawa Saiyidatina Fatimah putri Muhammad berkata kepadamu, "Berilah aku seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu."

Lalu Salman mengambil baju besi itu dan membawanya kepada Syam’un Yahudi. "Wahai Syam’un, ini adalah baju besi Saiyidatina Fatimah putri Muhammad SAW., dia berkata kepadamu, ‘Berilah aku utang seikat kurma dan gandum, nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu."

Kemudian Syam’un mengambil baju besi tersebut, dan membolak-balikannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya berderai air mata sambil berkata, "Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam dunia. Inilah yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam Taurat. Kini aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Si Yahudi tersebut akhirnya masuk Islam.

Selain hidupnya yang amat sederhana dan kepedulian sosialnya yang sangat tinggi, Siti Saiyidatina Fatimah -‘alaiha salam – juga dikenal sebagai seorang ‘abidah (ahli ibadah).

Al-Hasan bin ‘Ali – salam atas mereka berdua – berkata, "Aku melihat ibuku, Saiyidatina Fatimah, berdiri di mihrab-nya pada malam Jum’at. Beliau senantiasa ruku’ dan sujud hingga cahaya fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang Mukmin dan Mukminat, bahkan menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia banyak mendoakan mereka, tetapi tidak mendoakan dirinya."

Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana Ibu mendoakan yang lainnya ?’ Beliau menjawab, ‘Wahai anakku. Tetangga lebih dahulukan, baru rumah sendiri.’"

Saiyidatina Fatimah juga adalah seorang Muslimah yang sangat afifah. Pernah suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang terbaik bagi wanita ?" "Iaitu wanita yang tidak melihat lelaki dan tidak dilihat lelaki," jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan ayat berikut, "Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain." (QS Ali Imran, 3 : 34).

Saiyidatina Fatimah as yang sejak usia dini sudah menderita, maka penderitaan baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan, dan kehidupan yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Saiyidatina Fatimah. Ironisnya, penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya tercinta.

Jika Saiyidatina Fatimah ketika kecil dan dewasa menyaksikan dengan sedih gangguan dan rongrongan kaum Musyrikin terhadap ayahandanya hingga akhir hayatnya, Saiyidatina Fatimah menyaksikan pengkhianatan dan eksploitasi umat ayahandanya terhadap suaminya, ‘Ali, dan dirinya sendiri.

Sudah tentu, yang terakhir lebih melukai dan menyakitkan hatinya. Semaklah kisah berikut, ketika Saiyidatina Fatimah as bersimpuh di pusara ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah secara drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan, dia berkata, "Wahai ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya engkau masih berada di tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan banyak."

Walaupun Saiyidatina Fatimah masih berduka dengan kematian ayahandanya tercinta, dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam.

Sejarah telah merekamkan untuk kita, setelah sepeninggal ayahandanya, lalu kaum Muslimin mengangkat Abubakar sebagai khalifah, maka Siti Saiyidatina Fatimah menjelaskan tentang tauhid, kenabian, dan kepemimpinan serta memperingatkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sejumlah kaum Muslimin.

Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menangis tatkala mendengarkan khutbah dan peringatan Saiyidatina Fatimah tersebut.

Akhirnya, Saiyidatina Fatimah berpulang ke haribaan Tuhan, enam bulan setelah kepergian ayahandanya. Saiyidatina Fatimah pergi dengan hati yang duka dan terluka. Saiyidatina Fatimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya. Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi ayahandanya. Kemudian setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi menyusulnya.

Besar nian jasamu, wahai Saiyidatina Fatimah, dalam membela ayahmu.
Sungguh panjang dan dalam deritamu, sejak ayahmu menjadi bulan-bulanan kaum Musyrikin.

Betapa sakit hati dan pedih hatimu di kala engkau menyaksikan pengkhianatan dan penyimpangan sebagian umat ayahmu. Salam sejahtera atasmu, wahai Saiyidatina Fatimah, di hari lahirmu, di hari penderitaanmu dan di hari wafatmu.

No comments:

Post a Comment